Sabtu, 21 Februari 2015

PERUBAHAN PERATURAN PADA UU NO 27 TAHUN 2007 MENJADI UU NO 1 TAHUN 2014


Pesisir Belitung Indonesia
  (sumber : http://amirahhayazee.blogspot.com/2013/08/pulau-belitung-indah-dan-eksotis.html)

ini juga wilayah pesisir Indonesia
(sumber : http://www.imacsindonesia.com/v5/index.php/id/news/177-
adopsi-i-catch-dalam-kurikulum-pelatihan-berbasis-kompetensi-bagi-pendamping-desa-pesisir-tangguh)


Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan pulau-pulau indahnya yang terbentang dari 6o LU – 11o LS dan 95o BT – 141o BT, serta berada pada UTM zona 46 sampai 54 ini memiliki luas wilayah pesisir dua per tiga dari luas daratan, sedangkan panjang garis pantainya adalah 95.161 kilometer atau terpanjang kedua di dunia. Suatu kenyataan yang sebenarnya telah kita pahami bersama, jika sumberdaya pesisir dan lautan memiliki arti penting bagi pembangunan nasional, baik dilihat dari aspek ekonomi, aspek ekologis, aspek pertahanan dan keamanan, serta aspek pendidikan dan pelatihan. Kawasan pesisir, selain kaya akan bahan-bahan tambang dan mineral juga berpotensi bagi pengembangan aktivitas industri, pariwisata, pertanian, permukiman, dan lain sebagainya. Untuk itu, diperlukannya suatu kebijakan dan strategi untuk pengelolaan wilayah pesisir tersebut.
Pada 26 Juni 2007 DPR RI mengesahkan Undang-Undang No 27 Tahun 2007 tentang Pengeloaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil yang merupakan kebijakan pertama untuk mengatur pengelolaan di wilayah pesisir. Kemudian pada Januari 2014 disahkan Undang-Undang No 1 Tahun 2014 yang berisi perubahan atas UU No 27 Tahun 2007. Alasan perubahan tersebut dicantumkan dalam UU No. 1 Tahun 2014 pada bagian “menimbang” point b “bahwa Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil belum memberikan kewenangan dan tanggung jawab negara secara memadai atas pengelolaan Perairan Pesisir dan pulau-pulau kecil sehingga beberapa pasal perlu disempurnakan sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan hukum di masyarakat;”. Berikut ini perubahan yang terjadi:

Pasal I

Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4739) diubah sebagai berikut:
1.    Ketentuan Pasal 1 angka 1, angka 17, angka 18, angka 19, angka 23, angka 26, angka 28, angka 29, angka 30, angka 31, angka 32, angka 33, angka 38, dan angka 44 diubah, dan di antara angka 18 dan angka 19 disisipkan 1 (satu) angka yakni angka 18A, serta di antara angka 27 dan angka 28 disisipkan 1 (satu) angka yakni angka 27A sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:

       Angka 1        :
Menjelaskan tentang pengertian Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Perubahan yang terjadi antara lain terdapat penggantian kata “proses” menjadi “pengoordinasian”, penggantian kalimat “...antarsektor, antara pemerintah dan pemerintah daerah” menjadi “yang dilakukan oleh pemerintah dan pemerintah daerah, antarsektor,...”, dan perubahan kata “masyarakat” menjadi “rakyat”.
          Sehingga angkat 1 berubah dari yang awalnya berbunyi “Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil antarsektor, antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. menjadi “Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah suatu pengoordinasian perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil yang dilakukan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah, antarsektor, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
         
       Angka 17      :
Menjelaskan tentang pengertian Rencana Zonasi, perubahan yang terjadi adalah penghapusan kalimat “yang dapat disusun oleh Pemerintah Daerah”, perubahan pada kalimat “jenis dan jumlah surat izin yang dapat diterbitkan oleh Pemerintah Daerah” menjadi “jenis dan jumlah surat izin yang diterbitkan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah.”
Sehingga bunyi angka 17 menjadi “Rencana Zonasi Rinci adalah rencana detail dalam 1 (satu) Zona berdasarkan arahan pengelolaan di dalam Rencana Zonasi dengan memperhatikan daya dukung lingkungan dan teknologi yang diterapkan serta ketersediaan sarana yang pada gilirannya menunjukkan jenis dan jumlah surat izin yang diterbitkan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah.”

       Angka 18      :
Pada UU No 27 Tahun 2007 angka18 mengatur tentang HP3 (Hak Pengusahaan Perairan Pesisir), sedangkan pada UU No 1 Tahun 2014 mengatur tentang Izin Lokasi.

       Penambahan Angka 18A yang memberikan pengertian tentang Izin Pengelolaan, sehingga Angka 18A berbunyi:
“Izin Pengelolaan adalah izin yang diberikan untuk melakukan kegiatan pemanfaatan sumber daya Perairan Pesisir dan perairan pulau-pulau kecil.”

       Angka 19      :
Mengatur tentang Konservasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, terdapat perubahan kata “perlindungan” menjadi “pelindungan”.

       Angka 23      :
Mengatur tentang Reklamasi, terjadi penambahan kata “setiap”, sehingga bunyinya menjadi “Reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh Setiap Orang dalam rangka meningkatkan manfaat sumber daya lahan ditinjau dari sudut lingkungan dan sosial ekonomi dengan cara pengurugan, pengeringan lahan atau drainase.”

       Angka 26      :
Memberikan pengertian tentang bencana pesisir, terjadi penambahan kata “setiap”, sehingga bunyi angka 26 menjadi “Bencana Pesisir adalah kejadian karena peristiwa alam atau karena perbuatan Setiap Orang yang menimbulkan perubahan sifat fisik dan/atau hayati Pesisir dan mengakibatkan korban jiwa, harta, dan/atau kerusakan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.”

       Penambahan Angka 27A tentang Dampak Penting dan Cakupan yang Luas serta Bernilai Strategis, yang berbunyi   :
“Dampak Penting dan Cakupan yang Luas serta Bernilai Strategis adalah perubahan yang berpengaruh terhadap kondisi biofisik seperti perubahan iklim, ekosistem, dan dampak sosial ekonomi masyarakat bagi kehidupan generasi sekarang dan generasi yang akan datang.”

       Angka 28      :
Mengatur tentang Pencemaran Pesisir, terdapat penambahan kata “setiap”, sehingga bunyinya menjadi “Pencemaran Pesisir adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan Pesisir akibat adanya kegiatan Setiap Orang sehingga kualitas Pesisir turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan Pesisir tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya.”

      Angka 29      :
Menjelaskan mengenai akreditasi, terdapat penggantian kata “Program-program” menjadi “program”, sehingga bunyinya menjadi “Akreditasi adalah prosedur pengakuan suatu kegiatan yang secara konsisten telah memenuhi standar baku sistem Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang meliputi penilaian, penghargaan, dan insentif terhadap program pengelolaan yang dilakukan oleh Masyarakat secara sukarela.”

       Angka 30      :
Menjelaskan tentang Pemangku Kepentingan Utama, terdapat penghapusan kata “pesisir” setelah kata “masyarakat” diakhir kalimat, sehingga bunyinya menjadi “Pemangku Kepentingan Utama adalah para pengguna Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang mempunyai kepentingan langsung dalam mengoptimalkan pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, seperti nelayan tradisional, nelayan modern, pembudi daya ikan, pengusaha pariwisata, pengusaha perikanan, dan Masyarakat.”

       Angka 31      :
Menjelaskan mengenai pemberdayaan masyarakat, perubahan terjadi pada penggantian kalimat “kepada Masyarakat Pesisir” menjadi “kepada Masyarakat dan nelayan tradisional.
“Pemberdayaan Masyarakat adalah upaya pemberian fasilitas, dorongan, atau bantuan kepada Masyarakat dan nelayan tradisional agar mampu menentukan pilihan yang terbaik dalam memanfaatkan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara lestari.”

       Angka 32      :
Menjelaskan mengenai pengertian masyarakat, terdapat penggantian kata “terdiri dari” menjadi “tediri atas”, “masyarakat Adat” menjadi “Masyarakat Hukum Adat”, dan penambahan kalimat “dan Masyarakat Tradisional”.
“Masyarakat adalah masyarakat yang terdiri atas Masyarakat Hukum Adat, Masyarakat Lokal, dan Masyarakat Tradisional yang bermukim di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.”

       Angka 33      :
Pada UU No 27 Tahun 2007, Angka 33 menjelaskan tentang pengertian Masyarakat Adat. Sedangkan pada UU no 1 Tahun 2014, menjelaskan tentang Masyarakat Hukum Adat.
“Masyarakat Hukum Adat adalah sekelompok orang yang secara turun-temurun bermukim di wilayah geografis tertentu di Negara Kesatuan Republik Indonesia karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, hubungan yang kuat dengan tanah, wilayah, sumber daya alam, memiliki pranata pemerintahan adat, dan tatanan hukum adat di wilayah adatnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

       Angka 38      :
Pada UU No 27 Tahun 2007, Angka 38 menjelaskan tentang pengertian Orang. Sedangkan pada UU no 1 Tahun 2014, menjelaskan tentang Setiap Orang.
"Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.”

       Angka 44      :
Menjelaskan tentang pengertian menteri. Dilakukan penyempurnaan dalam pengertian tersebut, sehingga menjadi “Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan.”

Pasal 14
2.    Ketentuan ayat (1) dan ayat (7) Pasal 14 diubah sebagai berikut      :

a.    Ayat 1           :
Penambahan kata “masyarakat” sehingga bunyinya menjadi “Usulan penyusunan RSWP-3-K, RZWP-3-K, RPWP-3-K, dan RAPWP-3-K dilakukan oleh Pemerintah Daerah, Masyarakat, dan dunia usaha.”

b.    Ayat 7           :
Penghapusan kata “maka” diantara koma dan “dokumentasi”, sehingga berbunyi “Dalam hal tanggapan dan/atau saran sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tidak dipenuhi, dokumen final perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dimaksud diberlakukan secara definitif.”

3.    Judul Bagian Kesatu pada Bab V diubah dari “Hak Pengusahaan Perairan Pesisir” menjadi “Izin”, sehingga berbunyi sebagai berikut:

Bagian Kesatu

Izin

4.    Ketentuang Pasal 16, 17, 18, 19, dan 20 yang pada UU No 27 Tahun 2007 mengatur tentang HP-3 diubah menjadi     :
a.    Pasal 16       : tentang Izin Lokasi, tetap berisi 2 ayat.
b.    Pasal 17       : tentang Pemberian Izin Lokasi, berubah menjadi 4 ayat.
c.    Pasal 18       : tentang Pemegang Izin Lokasi.
d.    Pasal 19 diubah menjadi sebagai berikut :
Pasal 19
(1)   Setiap Orang yang melakukan pemanfaatan sumber daya Perairan Pesisir dan perairan pulau-pulau kecil untuk kegiatan:
a.   produksi garam;
b.   biofarmakologi laut;
c.    bioteknologi laut;
d.   pemanfaatan air laut selain energi;
e.    wisata bahari;
f.     pemasangan pipa dan kabel bawah laut; dan/atau
g.    pengangkatan benda muatan kapal tenggela,wajib memiliki Izin Pengelolaan.
(2)   Izin Pengelolaan untuk kegiatan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3)   Dalam hal terdapat kegiatan pemanfaatan sumber daya Perairan Pesisir dan perairan pulau-pulau kecil yang belum diatur berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
e.    Pasal 20       : tentang peran pemerintah dan pemerintah daerah mengenai izin lokasi dan izin pengelolaan serta penerima Izin tersebut.
f.     Pasal 21       : tentang Pemanfaatan ruang dan sumber daya Perairan Pesisir dan perairan pulau-pulau kecil pada wilayah Masyarakat Hukum Adat oleh Masyarakat Hukum Adat
g.    Pasal 22       : tentang kewajiban memiliki izin dan Masyrakat Hukum Adat.

5.    Penambahan Pasal 22A  :
Izin Lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) dan Izin Pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) diberikan kepada:
a.   orang perseorangan warga negara Indonesia;
b.   korporasi yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia; atau
c.    koperasi yang dibentuk oleh Masyarakat.

6.    Penambahan Pasal 22B  :
“Orang perseorangan warga Negara Indonesia atau korporasi yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan koperasi yang dibentuk oleh Masyarakat yang mengajukan Izin Pengelolaan harus memenuhi syarat teknis, administratif, dan operasional.”

7.    Penambahan Pasal 22C  :
“Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat, tata cara pemberian, pencabutan, jangka waktu, luasan, dan berakhirnya Izin Lokasi dan Izin Pengelolaan diatur dengan Peraturan Pemerintah.”

8.    Pasal 23   :
Penghapusan kata “atau lebih” diantara kata “salah satu” dan “kepentingan”, penambahan poin i yaitu  pertahanan dan keamanan negara pada ayat (2), serta penghapusan ayat (4), (5), (6,), dan (7) yang berisi tentang HP3. Sehingga bunyinya menjadi :
Pasal 23
(1)    Pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya dilakukan berdasarkan kesatuan ekologis dan ekonomis secara menyeluruh dan terpadu dengan pulau besar di dekatnya.
(2)    Pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya diprioritaskan untuk kepentingan sebagai berikut:
a.   konservasi;
b.   pendidikan dan pelatihan;
c.    penelitian dan pengembangan;
d.   budi daya laut;
e.    pariwisata;
f.     usaha perikanan dan kelautan serta industri perikanan secara lestari;
g.   pertanian organik;
h.    peternakan; dan/atau
i.     pertahanan dan keamanan negara.
(3)    Kecuali untuk tujuan konservasi, pendidikan dan pelatihan serta penelitian dan pengembangan, pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya wajib:
a.   memenuhi persyaratan pengelolaan lingkungan;
b.   memperhatikan kemampuan dan kelestarian sistem tata air setempat; dan
c.    menggunakan teknologi yang ramah lingkungan.

9.    Penambahan Pasal 26A  :
Pasal 26A
(1)   Pemanfaatan pulau-pulau kecil dan pemanfaatan perairan di sekitarnya dalam rangka penanaman modal asing harus mendapat izin Menteri.
(2)   Penanaman modal asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mengutamakan kepentingan nasional.
(3)   Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah mendapat rekomendasi dari bupati/wali kota.
(4)   Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a.   badan hukum yang berbentuk perseroan terbatas;
b.   menjamin akses publik;
c.    tidak berpenduduk;
d.   belum ada pemanfaatan oleh Masyarakat Lokal;
e.    bekerja sama dengan peserta Indonesia;
f.     melakukan pengalihan saham secara bertahap kepada peserta Indonesia;
g.   melakukan alih teknologi; dan
h.    memperhatikan aspek ekologi, sosial, dan ekonomi pada luasan lahan.
(5)   Ketentuan lebih lanjut mengenai pengalihan saham dan luasan lahan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf f dan huruf h diatur dengan Peraturan Presiden.

10. Perubahan Pasal 30, menjadi 4 ayat     :
Pasal 30
(1)   Perubahan peruntukan dan fungsi zona inti pada kawasan konservasi untuk eksploitasi ditetapkan oleh Menteri dengan didasarkan pada hasil penelitian terpadu.
(2)   Menteri membentuk Tim untuk melakukan penelitian terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas unsur-unsur kementerian dan lembaga terkait, tokoh masyarakat, akademisi, serta praktisi perikanan dan kelautan.
(3)   Perubahan peruntukan dan fungsi zona inti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang ber-Dampak Penting dan Cakupan yang Luas serta Bernilai Strategis, ditetapkan oleh Menteri dengan persetujuan DPR.
(4)   Tata cara perubahan peruntukan dan fungsi zona inti sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.

11. Pasal 50   :
Pada UU No 27 Tahun 2007 mengatur tentang pemberian HP-3 oleh Menteri dan pejabat eksekutif daerah, sedangkan pada UU No 1 Tahun 2014 diubah menjadi mengatur tentang pemberian dan pencabutan Izin Lokasi oleh Menteri dan pejabat eksekutif daerah.

12. Pasal 51   :
Pada UU No 27 Tahun 2007 Pasal 51 berisi 3 ayat yang mengatur tentang menteri yang berwenang terhadap HP-3 serta tata cara penetapannya diatur dalam Peraturan Pemerintah, sedangkan UU No 1 Tahun 2014 Pasal 51 berisi 2 ayat yang mengatur tentang kewenangan Menteri terhadap Izin Lokasi serta tata cara penetapannya diatur lanjut dalam Peraturan Menteri.

13. Pasal 60   :
Pada UU No 27 Tahun 2007 Pasal 60 mengatur tentang hak dan kewajiban masyarakat terhadap HP-3, sedangkan UU No 1 Tahun 2014 Pasal 51 berisi 2 ayat yang mengatur tentang Hak dan kewajiban masyarakat terhadap izin lokasi dan izin pengelolaan.

14. Pasal 63 ayat (2) :
Mengatur tentang kewajiban pemerintah dan pemerintah daerah untuk mendorong kegiatan usaha masyarakat. Terdapat penambahan “dan Pemerintah Daerah”, serta penggantian kalimat “melalui berbagai kegiatan di bidangPengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang berdaya guna dan berhasil guna” menjadi “melalui peningkatan kapasitas, pemberian akses teknologi dan informasi, permodalan, infrastruktur, jaminan pasar, dan aset ekonomi produktif lainnya.” Sehingga bunyinya menjadi “Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban mendorong kegiatan usaha Masyarakat melalui peningkatan kapasitas, pemberian akses teknologi dan informasi, permodalan, infrastruktur, jaminan pasar, dan aset ekonomi produktif lainnya.”

15. Pasal 71   :
Pada UU No 27 tahun 2007 pasal 71 berisi aturan mengenai pelanggaran terhadap HP-3 dan sanksi administratifnya, sedangkan pada UU No 1 Tahun 2014 berisi tentang aturan mengenai pelanggaran terhadap izin lokasi dan izin pengelolaan beserta sanksi administratifnya.

16. Pasal 75   :
Pada UU No 27 tahun 2007 pasal 75 berisi tentang denda dan pidana karena kelalaiannya atas HP-3, sedangkan pada UU No 1 Tahun 2014 Pasal 75 berisi tentang denda dan pidana Setiap Orang yang memanfaatkan sumber daya Perairan Pesisir dan perairan pulau-pulau kecil yang tidak memiliki Izin Lokasi.

17. Penambahan Pasal 75A, yang berbunyi :
“Setiap Orang yang memanfaatkan sumber daya Perairan Pesisir dan perairan pulau-pulau kecil yang tidak memiliki Izin Pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).”

18. Penambahan Pasal 78A  :
“Kawasan konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang telah ditetapkan melalui peraturan perundang-undangan sebelum Undang-Undang ini berlaku adalah menjadi kewenangan Menteri.”

19. Penambahan Pasal 78B  :
“Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, izin untuk memanfaatkan sumber daya Perairan Pesisir dan perairan pulau-pulau kecil yang telah ada tetap berlaku dan wajib menyesuaikan dengan Undang-Undang ini dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) tahun.”

          Putusan Mahkamah Konstitusi menjadikan HP-3 atau yang lebih dikenal dengan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir menjadi inkonstitusional karena bertentangan dengan UUD 1945 dan oleh karenanya ketentuan yang mengatur tentang HP3 dinyatakan tidak memiliki kekuatan mengikat. Sesuai dengan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang berbunyi “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil seharusnya dapat dilakukan untuk dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Perubahan yang dilakukan pada UU No 27 Tahun 2007 menjadi UU No 1 Tahun 2014 pada dasarnya adalah perubahan peraturan mengenai HP-3, dan sebagai gantinya dibuatlah peraturan mengenai izin lokasi dan izin pengelolaan. Perubahan tersebut juga lebih menekankan lagi tentang peran Setiap Orang, Masyarakat Hukum Adat, Masyarakat Lokal, dan Masyarakat Tradisional, serta wewenang pemerintah dan pemerintah daerah dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. 



Fanny Zafira Mukti
12/333490/TK/39843




  • REFERENSI :
  • UU No. 27 tahun 2007 Tentang  Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil
  • UU No. 1 tahun 2014 Tentang  Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil

1 komentar:

  1. Free Spins No Deposit - Casino Site Review 2021
    How to get free spins no deposit 바카라 사이트 casino The 1xbet main game they offer is playing on all devices and it is available on all choegocasino devices at the moment.

    BalasHapus