Implikasi Konsep
Wawasan Nusantara terhadap Pengelolaan Wilayah Pesisir
Negara Kesatuaan Republik
Indonesia merupakan negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya terdiri
atas perairan. Total luas wilayah Indonesia adalah 7.9 juta km² yang terdiri
dari 1.8 juta km² wilayah daratan dan 3.2 juta km² wilayah laut teritorial
serta 2.9 juta km² laut perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), dengan demikian
total wilayah perairan Indonesia adalah 77% dari seluruh luas Indonesia, atau
tiga kali luas wilayah daratan Indonesia. Wilayah Indonesia yang begitu luasnya
tersebut didapatkan melalui Deklarasi Djuanda pada tanggal 13 Desember 1957
yang dicetuskan oleh Djoeanda Kartawidjaja, Perdana Menteri Indonesia pada saat
itu.
sumber : I Made Andi Arsana. Lecture23feb.pdf |
Sebelum
deklarasi Djuanda, wilayah negara Republik Indonesia mengacu pada Ordonansi
Hindia Belanda 1939, yaitu Teritoriale
Zeeën en Maritieme Kringen Ordonantie 1939 (TZMKO 1939). Dalam peraturan
zaman Hindia Belanda ini, pulau-pulau di wilayah Nusantara dipisahkan oleh laut
di sekelilingnya dan setiap pulau hanya mempunyai laut di sekeliling sejauh 3
mil dari garis pantai. Ini berarti kapal asing boleh dengan bebas melayari laut
yang memisahkan pulau-pulau tersebut. Melalui Deklarasi Djuanda, Indonesia
mengklaim bahwa semua kawasan laut di antara pulau-pulau Indonesia menjadi
perairan Indonesia dan merupakan bagian kedaulatan Indonesia.
Wilayah perairan tersebut sering pula disebut dengan Archipelagic Waters (Perairan Kepulauan). Setelah 9 tahun memperjuangkan Archipelagic Waters, deklarasi ini pada tahun 1982 akhirnya dapat diterima dan ditetapkan dalam konvensi hukum laut PBB ke-III Tahun 1982 (United Nations Convention On The Law of The Sea/UNCLOS 1982). Dengan disepakatinya perairan kepulauan Indonesia, maka hal tersebut merupakan sumbangan Indonesia untuk hukum laut internasional.
Wilayah perairan tersebut sering pula disebut dengan Archipelagic Waters (Perairan Kepulauan). Setelah 9 tahun memperjuangkan Archipelagic Waters, deklarasi ini pada tahun 1982 akhirnya dapat diterima dan ditetapkan dalam konvensi hukum laut PBB ke-III Tahun 1982 (United Nations Convention On The Law of The Sea/UNCLOS 1982). Dengan disepakatinya perairan kepulauan Indonesia, maka hal tersebut merupakan sumbangan Indonesia untuk hukum laut internasional.
sumber : I Made Andi Arsana. Lecture23feb.pdf |
Berdasarkan
konvensi hukum laut (UNCLOS III) tahun 1982, wilayah perairan Indonesia
meliputi kawasan seluas 3,1 juta km² terdiri atas perairan kepulauan seluas 2,8
juta km² dan laut dengan luas sekitar 0,3 juta km² Indonesia juga memiliki hak
berdaulat atas berbagai sumber kekayaan alam serta berbagai kepentingan yang
melekat pada ZEE seluas 2,7 juta km² dan hak partisipasi dalam pengelolaan
kekayaan alam di laut lepas di luar batas 200 mil ZEE. Suatu negara dapat
mengklaim laut internal kepulauannya jika memenuhi syarat perbandingan luas air
dengan luas daratan sebesar 1:1 atau 9:1.
Dengan
ditetapkannya wilayah perairan kepulauan Indonesia, maka muncullah permasalahan
berikutnya tentang penentuan jalur-jalur yang nantinya akan digunakan sebagai
jalur pelayaran internasional. Jalur-jalur tersebut kemudian disebut dengan
ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia). ALKI berupa koridor dengan lebar 25 mil ke
kiri dan 25 mil ke kanan dari poros jalur. Dengan ditetapkannya ALKI maka
negara lain yang ingin melewati wilayah perairan Indonesia harus menggunakan
jalur- jalur tersebut. Hingga saat ini, baru ada tiga buah jalur yang sudah
ditetapkan oleh Indonesia dan disepakati oleh negara-negara lainnya. Ketiga jalur
tersebut melintang sepanjang utara ke selatan. Dimata dunia internasional, ALKI
yang ditentukan oleh Indonesia tersebut masih berupa ALKI parsial, karena belum
ditentukannya jalur yang membujur dari barat ke timur atau sebaliknya. Pada UNCLOS
juga sudah ada ketentuan apabila tidak menentukan jalur pelayaran internasional
pada wilayah perairan kepulauan, maka negara lain bebas lewat dimana saja.
sumber : I Made Andi Arsana. Lecture23feb.pdf |
Selain
membahas tentang ALKI dan Archipelagic
Waters, UNCLOS juga membahas tentang penentuan ZEE (Zona Ekonomi Ekslusif),
dimana ZEE Indonesia memiliki klaim maritim yang saling bertumpang tindih
dengan sepuluh negara-negara tetangga (Malaysia, Filiphina, Australia, Vietnam,
Timor Leste, Palau, India, Thailand, Papua Nugini, dan Singapura), untuk itu
perlu ditetapkan batas-batas maritim dengan kesepuluh negara tetangga tersebut.
Dari kesepuluh negara yang memiliki klaim maritim yang saling bertumpang tindih
dengan wilayah maritim Indonesia, baru delapan negara yang sudah memiliki
kesepakatan batas maritim dengan Indonesia meskipun belum tuntas. Dua negara yang
belum memiliki kesepakatan batas adalah Timor Leste dan Palau.
Penentuan
batas maritim tersebut berdampak pada wilayah pesisir Indonesia, untuk itu
penentuan batas maritim (terutama batas maritim dengan negara tetangga)
sangatlah penting. Hal tersebut diperlukan, agar dapat memberikan batas yang
pasti sampai dimana pengelolaan wilayah pesisir Indonesia harus dilakukan.
Dengan
diklaimnya wilayah perairan Indonesia saat ini, setelah melalui perjuangan yang
sangatlah lama oleh orang-orang berjasa seperti Djoeanda Kartawidjaja, Mochtar
Kusumaatmadja, Hasjim Djalal, Adi Sumardiman, Nugroho Wisnumurti, Budiman, Toga
Napitupulu, Zuhdi Pane, Nelly Luhulima, Hardjuni, dan Wicaksono Sugarda, kini
dibutuhkan suatu pengelolaan terpadu pada wilayah tersebut. Kekayaan alam yang
sudah Indonesia miliki sekarang ini, layaknya digunakan secara bijaksana untuk
kesejahteraan rakyat Indonesia sesuai dengan UUD 1945.
Sumber :
Andi Arsana, I
Made. Memagari Laut Nusantara: Penetapan
Batas Maritim Indonesia untuk Mendukung Kedaulatan dan Hak Berdaulat NKRI.
https://lawforjustice.wordpress.com/tag/wilayah-perairan-laut-indonesia/
Fanny Zafira Mukti (39843)
trim atas infonya ini sangat membantu anak saya dalam belajar
BalasHapusSama-sama, semoga bermanfaat :)
Hapus