Wilayah
pesisir Indonesia merupakan daerah yang terpadat penduduknya. Sekitar 140 juta
jiwa atau 60% penduduk Indonesia tinggal diwilayah pesisir (DKP, 2008). Selain
faktor dari manusia, perubahan iklim global juga meningkatkan tekanan terhadap
wilayah pesisr melalui semakin meningkatnya muka air laut akibat pemanasan
global.
Pengelolaan
wilayah pesisir harus dilakukan secara cepat dan tepat dengan memanfaatkan data
yang kontinyu dan teknologi yang mampu menggambarkan wilayah pesisir dengan
baik. Integrasi penginderaan jauh dan Sistem Informasi Geografi (SIG) merupakan
salah satu cara untuk mengelola wilyah pesisr dengan data yang kontinyu dan
sebaran spasial yang bisa menampilkan secara sederhana bentuk kawasan peisisir.
Secara sederhana intergrasi antara penginderaan jauh dan SIG dapat memetakan
kondisi wilayah pesisir sehingga dapat dipantau kondisinya.
Manfaat
citra penginderaan jauh dan SIG dalam pengelolaan wilayah pesisir antara lain :
PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE
Sebagai
salah satu ekosistem wilayah pesisir, hutan mangrove memiliki fungsi
ekologis,fungsi sosial dan ekonomis, serta fungsi fisik. Kenyataanya, kondisi
hutan mangrove di Indonesia masih memprihatinkan. Berdasarkan data dari FAO
(2007), luas hutan mangrove di Indonesia dari tahun 1980 hingga 2005 terus
mengalami penurunan, yaitu dari 4.200.000 Ha menjadi 2.900.000 Ha. Dalam kurun waktu
antara tahun 2000-2005, luas hutan mangrove di Indonesia mengalami penurunan
sebesar 50.000 Ha atau sekitar 1,6 %.
Mengingat
akan fungsi pentingnya, maka diperlukan pengelolaan hutan mangrove yang optimal
agar kerusakan dan berkurangnya luas hutan mangrove dapat diminimalisir. Di
dalam kegiatan pengelolaan, sangat diperlukan adanya basis data yang memadai.
Basis data ini dapat dijadikan sebagai dasar perencanaan dan pengambilan
keputusan, termasuk dalam pengelolaan hutan mangrove. Pengelolaan hutan
mangrove dapat dipermudah dengan memanfaatkan aplikasi penginderaan jauh dan
Sistem Informasi Geografis (SIG). Seiring dengan perkembangannya, saat ini,
integrasi antara teknik penginderaan jauh dengan teknik Sistem Informasi
Geografis semakin membantu dalam penyediaan basis data spasial mangrove melalui
berbagai aplikasi. Monitoring perubahan tutupan lahan mangrove dilakukan
melalui interpretasi visual data penginderaan jauh multitemporal seperti Citra
Landsat TM, Citra Landsat ETM, dan Citra ALOS.
Pada
analisis kualitatif, perubahan tutupan lahan mangrove disajikan secara spasial
berupa peta distribusi tutupan lahan mangrove. Dengan disajikan secara
bersamaan, maka peta distribusi tutupan lahan mangrove pada tahun pengamatan
yang berbeda akan memberikan informasi lokasi-lokasi di mana terjadi perubahan
tutupan lahan mangrove, baik berupa penambahan maupun pengurangan mangrove.
Secara kuantitatif, monitoring perubahan tutupan lahan mangrove diidentifikasi
melalui perubahan luas pada masing-masing tahun pengamatan.
MENENTUKAN BUDI DAYA LAUT
Potensi
laut di Indonesia sangat besar. Sayangnya kekayaan ini tidak disadari oleh
banyak masyarakat bahkan yang tinggal di wilayah pesisir. Akibatnya, masyarakat
kurang mengetahui bahwa teknologi penginderaan jauh pun bisa dimanfaatkan untuk
mendukung kegiatan budi daya laut. Beberapa parameter biofisik perairan yang
diperlukan dalam budi daya laut dan bersifat dinamis bisa dideteksi dari citra
Landsat menggunakan algoritma atau rumusan tertentu yang sudah dikalibrasi
dengan data lapangan.
Ekstraksi
parameter dilakukan dengan dua citra yang mewakili kondisi dua musim di
Indonesia. Tingkatan kesesuaian perairan laut diperoleh dengan melakukan
overlay (tumpang susun) seluruh parameter untuk semua musim. Selanjutnya,
dipadukan dengan tingkat kesesuaian musim yang berbeda sehingga diperoleh
kesesuaian perairan yang mewakili dua musim. Parameter yang dinamis diperoleh
dengan menggunakan data satelit multitemporal. Selain itu, analisis potensi
juga mempertimbangkan faktor pembatas seperti keterlindungan, daerah konservasi,
serta faktor penimbang seperti aksesibilitas dan pencemaran udara.
PENGELOLAAN TERUMBU KARANG
Meningkatnya
upaya pemanfaatan ekosistem terumbu karang untuk berbagai kepentingan, menuntut
segera dilakukan upaya pengelolaan secara berkelanjutan. Salah satu
permasalahan yang dihadapi dalam upaya pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia
adalah ketersediaan data dan informasi lingkungan yang tepat dan akurat secara
berkala. Citra satelit merupakan salah satu sumber data yang meliput suatu
daerah cukup luas dan tersedia secara berkala. Salah satu citra satelit yang
digunakan adalah citra satelit ASTER karena citra satelit ini memiliki resolusi
spasial, resolusi spektral dan resolusi temporal yang cukup baik, untuk tujuan
pemantauan kondisi terumbu karang.
Status
kondisi terumbu karang, umumnya ditentukan berdasarkan persentase tutupan
karang hidup yang diperoleh melalui kegiatan pengukuran lapangan dengan metode
line intercept transect (LIT), pada garis transek sepanjang 50 – 100m. Pemetaan
status kondisi terumbu karang melalui analisis citra satelit ASTER, pada
dasarnya merupakan suatu upaya penilaian kenampakan objek terumbu karang per
satu luasan pixel. Upaya ini diharapkan dapat mengurangi generalisasi data dan
penyediaan informasi secara cepat, tepat dan berkala.
PENGAMATAN PERUBAHAN GARIS PANTAI
Teknologi
yang mudah dan cepat untuk pemantauan perubahan garis pantai adalah dengan
menggunakan teknologi penginderaan jauh melalui perekaman citra satelit sebagai
datanya. Salah satunya adalah dengan menggunakan data hasil perekaman citra
Landsat (Land satellite). Salah satu sensor yang dibawa adalah Thematic Mapper
(TM) yang memiliki resolusi spasial 30 m × 30 m. Sensor ini terdiri dari 7 band
yang memiliki karakteristik berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan (Lillesand dan
Kiefer, 1990). Data Landsat dipilih karena mudah didapatkan.
Perubahan garis pantai ada 2
macam, yaitu akresi dan abrasi. Akresi pantai adalah perubahan garis pantai
menuju laut lepas karena adanya proses sedimentasi dari daratan atau sungai
menuju arah laut. Proses sedimentasi di daratan dapat disebabkan oleh pembukaan
areal lahan, limpasan air tawar dengan volume yang besar karena hujan yang
berkepanjangan dan proses transport sedimen dari badan sungai menuju laut.
Akresi pantai juga dapat menyebabkan terjadi pendangkalan secara merata ke arah
laut yang lambat laun akan membentuk suatu dataran berupa delta atau tanah
timbul. Proses akresi pantai biasanya terjadi di perairan pantai yang banyak
memiliki muara sungai dan energi gelombang yang kecil serta daerah yang bebas
terjadi badai. Sedangkan abrasi adalah proses pengikisan pantai oleh tenaga
gelombang laut dan arus laut yang bersifat merusak. Abrasi biasanya disebut
juga erosi pantai. Kerusakan garis pantai akibat abrasi ini dipacu oleh
terganggunya keseimbangan alam daerah pantai tersebut .
http://ssbelajar.blogspot.com/2012/10/manfaat-citra-penginderaan-jauh.html
http://igps-pekenbali.blogspot.com/2012/10/pemanfaatan-data-citra-satelit-dalam.html
https://mbojo.wordpress.com/2008/12/24/perencanaan-pengelolaan-wilayah-pesisir-dengan-memanfaatkan-sistem-informasi-geografi-dan-data-penginderaan-jauh
wah ini sepertinya anak blogger , beda dr yg lain
BalasHapuswaaaaaa ada komennya hahaha makasih isna sudah dikasih komentar wkwk
Hapus